Manfaat Puasa Syawal untuk Kesehatan

Kaum Muslim memiliki keistimewaan berupa rahmat Allah yang melipatgandakan pahala ibadah mereka. Dengan menjalankan puasa Ramadhan disertai puasa sunnah selama 6 hari di Bulan Syawal, pahala yang diterima setara dengan berpuasa selama setahun penuh. Perhitungan terkait keutamaan ini telah banyak dijelaskan melalui pendekatan matematis sederhana, sehingga umat Islam percaya akan janji Allah yang menjamin limpahan pahala tersebut.
Setelah memperoleh limpahan pahala di Bulan Ramadhan, umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri dan diharamkan berpuasa pada tanggal 1 Syawal. Pada momen ini, berbagai jenis makanan dapat dikonsumsi, termasuk makanan yang berpotensi memberikan dampak buruk bagi tubuh. Meskipun makanan menjadi sumber nutrisi penting, konsumsi yang tidak hati-hati dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan.
Dampak dari pola konsumsi makanan tidak selalu langsung terlihat dalam waktu satu hari setelah dikonsumsi. Terlebih lagi, setelah Ramadhan berlalu, pola makan umat Islam cenderung mengalami perubahan drastis. Kebiasaan berpuasa setiap hari bergeser menjadi kebiasaan makan secara rutin setiap hari. Bahkan, frekuensi makan yang sebelumnya hanya dua kali sehari dapat meningkat menjadi tiga kali sehari atau lebih.
Selama Bulan Syawal, disarankan untuk mengambil langkah antisipasi terhadap perubahan pola makan yang masih baru terjadi. Dalam hal ini, puasa sunnah 6 hari di Bulan Syawal dianjurkan sebagai cara bagi tubuh untuk beradaptasi secara bertahap agar perubahan tidak terlalu drastis. Selain membantu tubuh bertransisi dengan lebih perlahan, puasa sunnah ini juga memberikan sejumlah manfaat istimewa bagi umat Islam.
Mengapa puasa sunnah di Bulan Syawal dilakukan selama 6 hari? Apakah terdapat hikmah tertentu dari jumlah tersebut dalam kaitannya dengan kesehatan? Bagaimana kondisi tubuh umat Islam setelah menjalankan puasa sunnah selama 6 hari di Bulan Syawal?
Menurut para pakar, puasa memiliki manfaat dalam memperkuat sistem kekebalan tubuh individu yang melaksanakannya. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah sel darah putih, yang berfungsi sebagai pelindung utama tubuh dari berbagai penyakit. Sel darah putih, yang sering diibaratkan sebagai pasukan penjaga tubuh, memiliki kemampuan untuk memperbanyak diri, mendukung daya tahan tubuh. Menariknya, setelah menjalani puasa selama 6 hari, peningkatan jumlah sel darah putih dapat terlihat secara signifikan.
Berdasarkan penelitian dari University of Osaka di Jepang, peningkatan jumlah sel darah putih terjadi secara signifikan pada hari ketujuh puasa. Dalam kurun waktu hari pertama hingga keenam, perubahan semacam ini tidak terdeteksi, tetapi pada hari ketujuh peningkatan berlangsung dengan cepat. Penambahan sel darah putih ini berperan langsung dalam memperkuat sistem kekebalan tubuh. Sel-sel tersebut mampu meredakan peradangan, sehingga berbagai penyakit inflamasi, seperti radang tenggorokan dan hidung, dapat sembuh melalui praktik puasa. (Mustamir, 2007, Rahasia Energi Ibadah untuk Penyembuhan, [Yogyakarta, Penerbit Lingkaran: halaman 241]).
Penjelasan mengenai peningkatan imunitas pada hari ketujuh berkaitan erat dengan manfaat puasa 6 hari di bulan Syawal. Oleh sebab itu, umat Islam disarankan untuk memanfaatkan kesempatan ini sebagai cara untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Jika dapat dilakukan secara berurutan, puasa Syawal selama 6 hari akan memberikan hasil yang maksimal. Namun, jika tidak memungkinkan dilakukan berturut-turut, manfaatnya tetap dapat membantu memberikan persiapan imunitas yang memadai untuk menghadapi bulan-bulan berikutnya.
Penelitian tersebut didukung oleh Wei dan timnya dari University of Southern California, yang bekerja sama dengan sebuah institut kanker di Milan. Dalam studi ini, mereka melibatkan 100 sukarelawan sehat yang menjalani puasa intermiten dengan durasi yang hampir serupa dengan waktu puasa Syawal.
Walaupun tidak sepenuhnya identik dengan puasa Syawal, hasil penelitian ini menunjukkan kesamaan dengan temuan sebelumnya di Osaka. Peneliti menjelaskan bahwa pola makan yang diatur seperti puasa sebagian besar berfungsi dengan mengaktifkan sel induk darah, sehingga meningkatkan kemampuan tubuh untuk memproduksi sel darah putih yang melawan infeksi. Proses ini terjadi bukan saat berpuasa, melainkan ketika kembali ke pola makan normal. Selain itu, pengaturan waktu puasa ini juga mendukung proses pembersihan sel yang dikenal sebagai autophagy.
Dalam proses autophagy, sel akan menghancurkan bagian yang telah rusak dan menggantikannya dengan komponen baru yang lebih fungsional (Wei et al., 2017, Fasting-mimicking diet and markers/risk factors for aging, diabetes, cancer, and cardiovascular disease, Science Translational Medicine, 9: halaman 1-12). Jika dikaitkan dengan puasa Syawal serta hasil penelitian di Osaka, temuan Wei dan timnya menunjukkan bahwa puasa dengan durasi tertentu memiliki dampak kesehatan dalam jangka panjang.
Setelah menjalani puasa selama 5-7 hari dan menghentikannya, dampak positif terhadap kesehatan mulai terlihat dan dirasakan. Hal ini sangat sesuai dengan puasa Syawal yang berlangsung selama 6 hari, karena termasuk dalam rentang waktu tersebut menurut penelitian yang ada. Selain itu, hasil studi Wei dan timnya menunjukkan bahwa puasa berpotensi memperpanjang usia. Efek ini muncul melalui pencegahan berbagai penyakit yang berhubungan dengan penuaan dan usia lanjut.
Jika risiko penyakit seperti diabetes, kanker, dan penyakit kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah) dapat diminimalkan, tentu hal ini akan meningkatkan harapan hidup seseorang. Mengingat begitu banyak manfaat yang telah dijelaskan mengenai puasa Syawal, umat Islam dianjurkan untuk melaksanakannya sesuai kemampuan masing-masing. Jika memungkinkan untuk menjalankan puasa 6 hari secara berturut-turut, manfaat kesehatan yang diperoleh akan lebih optimal. Namun, jika tidak bisa dilakukan secara berturut-turut, berapapun jumlah hari puasa Syawal yang dijalankan tetap membawa manfaat positif bagi kesehatan. Wallahu a’lam bis shawab. (Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti geriatrik farmasi)
